Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil di Indonesia kompak menggugat UU Tentara Negara Indonesia (TNI), karena berpotensi melemahkan hak asasi manusia.
Kelompok masyarakat menilai bahwa peran ganda yang dimiliki militer, bahkan bisa masuk ke ranah teknologi, hingga keamanan teknologi dan keamanan siber, membahayakan kebebasan berpendapatan, terutama ketika ada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di media sosial. Kondisi ini juga bisa menimbulkan pemerintahan yang antikritik dan pelanggaran HAM dalam menyampaikan pendapat.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Selasa (04/11/2025) siang, bersama perwakilan masyarakat sipil.
Permohonan perkara yang diajukan oleh Mochamad Adli Wafi melalui Kuasa Hukum Daniel Winarta, dengan nomor perkara 197/PUU-XXIII/2025 memperkarakan UU TNI terbaru karena dinilai tidak sesuai dengan Konstitusi UUD 1945, serta berpotensi melemahkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), dan semangat reformasi di bidang keamanan.
Menurut pemohon, UU TNI yang menjadi isu hangat di awal tahun 2025 dinilai bermasalah pada empat aspek utama, yakni tugas pokok TNI, hubungan sipil-militer, usia pensiun perwira tinggi TNI, dan akuntabilitas pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI.
Sidang terbuka yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan didampingi Ridwan Mansyur beserta Arsul Sani turut dihadiri oleh para prinsipal Annisa Yuda dari Perkumpulan Imparsial, Bayu Wardana dari Aliansi Jurnalis Indonesia, Mochamad Adli Wafi, dan Ikhsan Yosarie.
Empat Pokok Perkara dalam UU TNI terbaru:
1. Keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
Para pemohon menilai, dalam UU TNI terbaru mengatur TNI dalam operasi militer selain perang, khususnya membantu tugas pemerintah di daerah dan menanggulangi ancaman siber dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Aturan tersebut akan membuka TNI semakin terlibat dalam ranah keamanan sipil, seperti urusan teknis keamanan siber, dan penanganan konflik sosial seperti pemogokan dan konflik komunal yang bersimpangan dengan aturan konflik sosial dalam UU Nomor 7 Tahun 2012. Di sini, pemogokan adalah salah satu kebebasan ekspresi yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E. Sedangkan konflik komunal yang terdapat dalam UU TNI terbaru dinilai pemohon tidak memiliki batasan yang jelas. Konflik sosial yang diatur dalam UU 7/2012 mengatur bantuan TNI hanya bisa dilakukan berdasarkan pengajuan dari Pemda ke Presiden.
2. Pelanggaran Prinsip Check and Balance dari DPR RI
UU TNI yang terbaru dinilai pemohon akan melanggar prinsip check and balance antara eksekutif (Presiden) sebagai penguasa tertinggi TNI, dan legislatif (DPR) sebagai pengontrol pembuatan kebijakan. UU TNI yang baru disebut dapat menghilangkan kontrol DPR dalam pelaksanaan OMSP, yang melanggar UUD 1945 pasal 10 dan 11.
3. Keterlibatan Prajurit Aktif di Lembaga Sipil
Sidang ini mempersoalkan UU TNI terbaru yang membolehkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan Sekretariatan Presiden, Kejaksaan RI, dan BNN. Ketiga jabatan tersebut berpotensi membuka kembali Dwifungsi ABRI dan menyimpang dari fungsi pertahanan negara. Terlebih, Kejaksaan diatur sebagai lembaga penegak hukum sipil yang tidak bisa diintervensi militer. Keterlibatan TNI dalam Kejaksaaan akan mengancam independensi Kejaksaan dan supremasi sipil.
4. Penambahan Usia Pensiun Perwira Tinggi
UU TNI yang terbaru dinilai para pemohon akan membuat diskriminasi terhadap perwira pertama dan menengah karena menyempitkan peluang jabatan strategis. Hal ini berlawanan dengan UUD 1945 pasal 27(1) dan 28D(3) yang menjunjung kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan atau militer.
Dalam persidangan ini, para hakim memberikan tanggapan kepada para pemohon berupa nasehat perbaikan untuk membangun kembali tuntutan yang lebih rinci dan lebih kuat argumentasinya dalam berkas permohonan.
Hakim Saldi Isra, menyampaikan perihal yang kurang dielaborasikan. Salah satunya adalah bagian apa saja dalam undang-undang yang menyimpang dari semangat reformasi. Beliau juga menambahkan penjelasan berupa perbandingan karakteristik TNI dengan tentara negara-negara lain.
Selain itu, majelis hakim menilai petitum permohonan, yaitu harapan para pemohon, turut mendapatkan komentar dari para hakim. Para hakim meminta untuk beberapa petitum digabungkan, dan ditambahkan beberapa berita negara yang relevan.
Para hakim juga memperhatikan legal standing para pemohon yang dinilai belum cukup kuat. Legal standing para pemohon masih kurang tersambung, yaitu antara pasal-pasal yang ingin diuji dengan kejadian inkonstitusional, karena membuat permohonan menjadi kurang jelas. (Stefanus Bintang)