Bank-bank pelat merah sedang menjadi sorotan. Minggu lalu, lewat situs resminya, mereka serempak mengumumkan kenaikan bunga deposito valuta asing, dari tak sampai 2 persen menjadi 4 persen untuk semua tenor, mulai November. Tak lama, pengumuman itu lenyap. Ada apa?
Rencana kenaikan bunga deposito valas ini dikaitkan dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk menarik pulang uang orang atau perusahaan Indonesia yang terparkir di luar negeri. Apalagi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat mengungkapkan sedang meramu paket insentif guna memancing pulang uang-uang itu.
Problemnya, pasca-pengumuman bank, kurs rupiah terhadap dolar AS justru tertekan. Situasinya, dolar AS memang tengah menguat terhadap berbagai mata uang dunia dipicu data ekonomi Negeri Paman Sam yang membaik. Namun, tekanan yang dialami rupiah sempat lebih dalam dibandingkan mata uang negara tetangga.
Beredar kabar, terjadi anomali: permintaan dolar AS mendadak melonjak. Diduga, ada yang buru-buru menukar rupiah ke dolar untuk ditempatkan di deposito valas. Kurs rupiah sempat bergerak di kisaran 16.700 per dolar AS pada minggu lalu. Rupiah terakhir kali berada di level ini pada April.
Informasi yang dihimpun Katadata dari beberapa sumber di lingkaran pemerintah, kebijakan itu bukan inisiatif bank atau Danantara. “Yang jelas bukan dari Bank dan Danantara karena akan berdampak ke profit dan dividen,” ujar salah satu Sumber. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tidak ada saat pengambilan keputusan, minggu lalu.
“Panah” tuduhan pun terarah ke Purbaya. Namun, ia buru-buru menepis. “Tidak ada perintah dari saya,” ujarnya, Jumat (26/9). Ia tak terima “dikambing hitamkan” sebagai penyebab pelemahan kurs rupiah. Menurut dia, kebijakan insentif masih digodok. “Itu mungkin ada yang terlalu eager (berkeinginan) menjalankan ide Pak Presiden, meski risikonya belum dihitung," ucapnya.
Purbaya sempat melakukan “sidak” ke kantor pusat BNI untuk menemui jajaran pimpinan bank pelat merah tersebut guna memperjelas duduk perkaranya. Kini, nasib kebijakan bunga deposito valas menggantung. Belum ada pernyataan resmi dari bank-bank pelat merah tentang arti pencabutan pengumuman itu.
Yang jelas, dalam pernyataan terbaru, Purbaya memastikan tidak akan memaksa bank. “Kami enggak akan memberi arah kebijakan yang memaksa mereka menaikkan ke 4 persen. Akan market based, betul-betul market based. Apa yang dibutuhkan pelaku dan perbankan sendiri,” ujarnya di Istana Negara, Selasa (30/9).
Setidaknya ada tiga hal yang dibidik pemerintah lewat paket insentif yang sedang diramu: peningkatan cadangan devisa nasional guna mendukung stabilitas kurs rupiah, peningkatan pasokan dolar dalam sistem perbankan, dan tersedianya pembiayaan valas dengan bunga kompetitif untuk beragam proyek strategis.
Perlu Kah Bank Mengepul Valas Besar-besaran?
Hitungan Katadata, mengacu pada data Statistik Perbankan per Juni, rasio kredit terhadap simpanan valas alias LDR valas di bank negara berkisar 82%. Ini terbilang longgar dibandingkan dengan LDR rupiah yang di kisaran 89%. Jika mengacu pada data ini, bank tidak sedang membutuhkan tambahan valas besar-besaran.
Longgarnya stok valas bank mengandung sejarah panjang. Sejak krisis moneter 1998, bank meningkatkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit valas: penyalurannya difokuskan untuk perusahaan yang pendapatannya dalam valas. Ini untuk menghindari tragedi finansial seperti pernah terjadi pada 1998.
Pada era 1980-1990-an, banyak perusahaan berpendapatan rupiah tapi kreditnya mayoritas dalam dolar AS. Saat kurs rupiah terhadap dolar AS tiba-tiba anjlok, utang perusahaan-perusahaan ini melambung dan terjadi-lah tsunami kredit macet yang menumbangkan bank-bank nasional.
Jauh setelah tragedi itu, BI dan pemerintah juga pernah “turun tangan” memperingatkan perusahaan-perusahaan untuk berhati-hati mengelola utang valasnya agar tidak berujung gagal bayar yang pada gilirannya bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Dirilis pula aturan kewajiban lindung nilai dan rasio likuiditas valas untuk korporasi non-bank yang memiliki utang luar negeri valas. Ini setidaknya terjadi pada 2013-2014.
Pada periode itu, Gubernur Bank Sentral AS beberapa kali menyinggung rencana normalisasi kebijakan moneter: pengurangan cetak uang yang menandai bakal berakhirnya era suku bunga zero di Negeri Paman Sam. Ini memicu arus keluar dana asing terutama dari pasar keuangan negara-negara berkembang. Akibatnya, permintaan dolar AS melonjak dan “memukul” kurs mata uang berbagai negara, termasuk rupiah.
Jalan Lain Pulangkan Dana
Kalau bukan lewat deposito valas, lalu apa cara paling realistis? Dari perbincangan dengan Ekonom Senior, pemulangan dana sebaiknya diprioritaskan dalam bentuk investasi ke ekonomi riil. Artinya, dana masuk sebagai modal ekspansi usaha, bukan sekadar ditaruh di bank. Kuncinya, ada di penciptaan peluang bisnis dan iklim bisnis yang lebih aman dan nyaman.
Alasan orang dan perusahaan Indonesia menyimpan uang di luar negeri, misalnya Singapura, juga bukan semata soal bunga deposito yang lebih tinggi atau pajak deposito yang lebih rendah. Ada faktor gelap: dana sengaja disembunyikan karena hasil tindak pidana seperti korupsi. Atau, hasil penghindaran pajak lewat transfer pricing hingga “pengutilan” langsung dengan mengutak-atik pendapatan dan biaya perusahaan.
Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menilai, dengan menutup celah penghindaran pajak transfer pricing saja, dampaknya bisa besar: peningkatan valas masuk, perbaikan neraca transaksi berjalan, dan bertambahnya pendapatan pajak.
Langkah cepat yang bisa dilakukan yaitu Menteri Keuangan merilis aturan agar auditor eksternal “wajib melakukan audit dari seluruh transfer pricing perusahaan untuk mendapatkan predikat wajar tanpa syarat” sesuai standar internasional.
“Saya tanya ke salah satu big four perusahaan audit, mengapa tidak dilakukan? Di negara lain wajib audit tahunan mencakup transfer pricing, jawabnya: di sini tidak diwajibkan pemerintah,” ujarnya kepada Katadata, Selasa (30/9).
Dugaan Aliran Besar Dana Gelap Milik Orang Indonesia
Terdapat beberapa laporan yang mengulas dugaan aliran dana siluman milik orang atau perusahaan Indonesia ke luar negeri. Aliran dana ini disebut bersembunyi di balik transaksi perdagangan dan investasi yang sah.
Agustus lalu, lembaga riset independen NEXT Indonesia merilis laporan yang mengulik jejak uang gelap lewat pintu perdagangan. Mereka membandingkan catatan ekspor Indonesia dengan data impor negara tujuan, menggunakan basis data UN Comtrade milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hasilnya, dalam kurun waktu 2013–2023, terdapat temuan ketimpangan pencatatan perdagangan berbagai komoditas. Pertama, over-invoicing, yakni nilai ekspor yang dicatat lebih tinggi daripada nilai impor di negara tujuan, rata-rata mencapai US$40,2 miliar per tahun. Kedua, under-invoicing, kebalikannya, ketika nilai ekspor yang tercatat lebih rendah dari catatan impor di negara tujuan, dengan selisih rata-rata US$25,3 miliar per tahun.
“Misinvoicing ekspor merupakan masalah struktural yang merugikan Indonesia, baik dari sisi penerimaan negara, stabilitas devisa, hingga integritas sistem perdagangan,” tulis tim periset NEXT Indonesia.
Temuan itu sejalan dengan kajian lembaga think tank Global Financial Integrity (GFI) di Washington DC. GFI memperkirakan, negara berkembang rata-rata kehilangan sekitar 20 persen nilai perdagangan mereka dengan negara-negara maju akibat aliran dana gelap alias illicit financial flows.